Selasa, 08 Maret 2016

FRAGMENT 3

HAPPY-SAD ADOLESCENT

Berbicara masa remaja...hahaha...ini masa labil-labilnya aku dalam menjalani kehidupan, walau kalau dibandingin sekarang juga kayaknya masih aja kelabilan itu tetap menempel mengikuti ke mana kaki ini melangkah. Walau labil, kehidupanku di masa kecil hingga remaja sangat-sangat bahagia. Aku tidak kekurangan apapun, orang tua masih komplit, 2 kakak yang nggak neko-neko, punya 2 anjing lucu dan menggemaskan, dan keadaan ekonomi keluarga yang bisa dibilang berkecukupan, sehingga apapun yang aku minta, kedua orang tuaku tidak perlu berpuasa selama sebulan untuk bisa menuruti keinginanku. Ditambah keluargaku ini sangatlah hobi traveling, jadi ingat, waktu aku kecil sudah berapa tempat, kota, dan pulau yang kami singgahi untuk sekedar berekreasi di sana. Ya, semua terasa bahagia dan berjalan mulus-mulus saja. Tidak ada rintangan yang berarti, semuanya baik-baik saja seakan kehidupan aku dan keluargaku itu ditakdirkan untuk terus berbahagia, tak ada satupun yang membuat kebahagiaan keluarga ini pudar. Kami keluarga yang amat sangat bahagia dan sejahtera. 


Kebahagiaan itu terus mengiringi kehidupanku, bahkan kekecewaan dan sakit hati yang pertama kali aku rasakan pada saat remaja adalah tidak diterimanya aku di salah satu SMP favorit yang ada di kotaku. SMP yang menjadi sekolah kedua kakakku juga dan seketika kegagalan itu membuatku merasa aku menjadi anak yang paling bodoh di keluargaku, membuatku amat sangat terpukul hingga berhasil membuatku menangis semalaman. Dan pada akhirnya aku pun masuk di SMP yang menjadi pilihan Papaku, yasudah, kalau Papa yang memilih, pasti itu cukup bagus juga untuk aku walaupun aku penginnya tetap sekolah di SMP favorit itu. Pada waktu itu, kejadian itu sudah menjadi kejadian yang amat sangat menyakitkan buat aku, kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan seumur hidup, kejadian yang membekas dalam pikiran dan batinku. Aku merasa kejadian itu sudah yang paling menyakitkan, tapi ternyata tidak...

Semesta nampaknya berusaha untuk menggemblengku dengan kekecewaan dan kesakitan-kesakitan yang lainnya. Dan merasa gagal masuk di SMP favorit adalah bukan dari akhir dari segala kekecewaan dan sakit hatiku, bahkan aku merasa itu adalah awal dari segala drama kehidupanku, awal dari segala lika-liku kehidupanku, awal dari kedewasaanku yang mungkin terlalu dini untuk seorang aku yang masih menginjak usia remaja. Kekecewaan dan sakit hati tidak diterima di SMP favorit ternyata tidak seberapa dibandingkan kekecewaan dan sakit hati dari 

kehilangan.....

......Papa untuk selama-lamanya.... 

Ya...aku harus kehilangan Papaku pada saat aku kelas 2 SMP....itu sekitar 9 tahun yang lalu. Aku harus kehilangan seseorang yang paling penting dalam kehidupanku, aku harus menerima kenyataan kalau aku tidak akan pernah bisa melihat Papaku lagi bahkan untuk selama-lamanya, aku harus menerima kenyataan bahwa kepergian Papa itu nyata, bukan mimpi, bukan cerita bohong, bukan. Aku ingat sekali kejadian itu, hari kepergian Papa, siang itu, aku di rumah duduk santai di depan televisi sambil makan siang setelah baru pulang dari sekolah. Siang itu aku hanya berdua bersama Mama, karena kakak cowok, kakak pertamaku waktu itu lagi kuliah dan kakak perempuanku, bersekolah berasrama di Muntilan. Siang itu nampak biasa saja, aku juga masih makan nasi dan Mamaku juga masih ceria sambil mengajakku ngobrol, namun keadaan yang baik-baik itu, harus buyar ketika telepon rumah berdering. 

Tentu saja yang mengangkat telepon itu Mama, karena aku memang sedang sibuk dengan makan siangku dan tontonan yang tayang di televisi, aku lupa itu tayangan apa, tapi cukuplah menyita perhatianku sehingga aku tidak mendengar dengan seksama Mama berbicara apa di gagang telepon. Sampai aku menoleh ke arah Mama ketika beliau meletakkan gagang teleponnya dan berkata lirih. 

"Papamu nggak ada....." 

Aku terdiam. Seketika keadaan menjadi hening, Aku hanya menatap lurus ke arah Mamaku yang mulai menangis, ternyata itu telepon dari rekan kerjanya Papa di Aceh yang mengabarkan kepergian Papaku siang itu dan siap mengirimkan jenazahnya dari Aceh menuju Semarang esok harinya. Aku menatap Mama tanpa berkata-kata, membiarkan suara televisi mengisi siang hari yang mengejutkan saat itu. Aku masih terdiam dan tidak memberikan reaksi apapun, menangis pun tidak. Entahlah, saat itu dunia serasa terbalik 180 derajat, mendadak semua kosong, hening, hampa, dan hilang. Ya...hilang...tapi aku tidak bereaksi apapun, sama sekali. Aku hanya terdiam mematung, tidak tahu harus berbuat apa. Waktu terasa berhenti saat itu juga. Aku lupa kapan akhirnya aku menangisi kepergian Papaku, tapi yang jelas, ketika aku sendirian, aku tidak menangis, namun ketika teman-teman sekolahku datang untuk menghibur dan melayat atau mungkin mengasihani nasibku, tangisanku baru meledak. Bahkan, saking tidak sadarnya aku dengan kenyataan yang sedang aku hadapi hari itu, entah kenapa banyak orang yang mengingatkanku, salah satunya Biarawati, salah satu pengurus SMA-nya kakak perempuanku yang malam itu datang melayat,mengajakku berbicara empat mata di kamar Mama, katanya

"Dek, jangan menyalahkan Mamamu terus atas kepergian Papamu, Papamu pergi atas seizin Tuhan"

Hah? Menyalahkan Mama? Kapan aku menyalahkan Mamaku? Aku tidak merasa melakukan hal itu. Tapi ketika aku bertanya pada orang lain, pada tanteku, mereka juga bilang bahwa aku marah besar pada Mamaku, menyalahkannya atas kepergian Papaku. Sungguh, aku tidak sadar kapan aku melakukan hal itu pada Mamaku, yang aku tahu, aku hanya diam tidak berekspresi, semua kosong rasanya. Aku tidak menyangka, kalau kehilangan seseorang yang kita benar-benar sayangi bisa membuat diri kita mendadak tidak menyadari apa yang kita lakukan pada saat itu. Aneh, tapi yasudahlah, aku harus belajar ikhlas, aku harus bisa melepaskan kepergian Papaku, dan akhirnya tangisanku benar-benar meledak ketika untuk terakhir kalinya aku melihat wajah Papaku sebelum peti ditutup dan upacara penguburannya selesai. Aku baru benar-benar sedih, kecewa, dan sakit hati ketika aku tahu, aku sudah tidak bisa melihat Papaku lagi, untuk selama-lamanya.

Kenapa...Papaku yang termasuk orang baik, bertanggung jawab, salah satu pencipta kebahagiaan buatku dan keluarga...harus dipanggil dengan cepat? Kenapa, keluarga kami yang terlihat baik-baik saja, harus mengalami kehilangan dan luka dalam seperti ini? Mengingat masih banyak orang-orang di luar sana, terutama orang-orang jahat, keluarga yang tidak harmonis, keluarga yang tidak mempunyai Ayah sekaligus Suami yang baik tidak mengalami hal yang serupa seperti ini? Kenapa Papaku yang harus diambil? Umurnya masih terbilang muda untuk menapaki Firdausnya Tuhan, walau aku tahu Papa memang bandel kalau masalah merokok dan istirahat yang selalu kurang karena pekerjaan yang menumpuk. Aku berubah menjadi anak yang mudah cemburu ketika melihat teman-temanku bahagia bersama Ayahnya, aku kecewa, aku sedih, aku kehilangan. Kenapa?

Aku berubah, keadaan keluarga berubah terutama perekonomiannya. Yang awalnya segala sesuatu masih tercukupi, sekarang harus prihatin, harus menjual segala harta benda yang ditinggali Papa untuk tetap bisa hidup dan makan. Mama tidak bekerja, mau mencari kerja juga usianya sudah bukan usia produktif, kakak cowok masih kuliah, kakak cewek masih SMA, dan aku masih SMP. Kehidupanku tanpa Papa amat sangatlah berat. Keluargaku harus berjuang lebih keras untuk mencukupi segala sesuatu. Puji Tuhan, sampai saat ini aku dan keluargaku masih tetap bisa melanjutkan hidup walau tidak seenak dan senyaman ketika Papa masih ada.

Kepergian Papaku memang meninggalkan luka yang cukup dalam untuk keluarga dan aku sendiri. Tapi dari tahun ke tahun, aku semakin belajar, bahwa kepergian Papaku memberikan aku pelajaran yang penting. Cukup penting untuk diriku sendiri. Mungkin jika Papa masih ada, aku masih menjadi anak yang super duper manja yang dengan seenak jidat minta apapun yang aku ingin ke Papaku. Mungkin jika Papa masih ada, aku tidak bisa menjadi pribadi sekuat sekarang ini, pribadi yang tegar, yang mandiri, yang bisa menghadapi segala kesusahan yang semesta hadirkan. Mungkin jika Papa masih ada, aku tidak menjadi aku yang sekarang ini. Karakter yang terbentuk dari keprihatinan dan kesabaran akan menjalani kerasnya kehidupan. Ah, seharusnya aku berterima kasih pada Papa atau bahkan Tuhan karena sudah memberiku kejadian seperti ini. Aku terluka, tapi aku terbentuk. Aku kehilangan, tapi aku bertumbuh. Aku harap, Papa bisa membaca ini, dan tersenyum melihat putri bungsunya ini sudah bertumbuh dewasa.

Terima kasih ya, Pa...:)

MS. NULL






2 komentar:

  1. Sedih :( mehek2 ni aku. Jadi makin bersyukur masih punya papah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Then, stay be grateful. :)

      -Ms. Null-

      Hapus