Selasa, 08 Maret 2016

FRAGMENT 2

NOT SO PATHETIC CHILDHOOD

Damn! saya gagal bersih-bersih isi lemari. Memalukan memang menerima kenyataan bahwa selembar foto yang tidak sengaja ditemukan di laci lemari pakaian mampu menghambat produktivitas seorang laki-laki berumur 22 tahun. 
Foto itu, entah kapan momen itu tertangkap oleh kamera. bahkan di foto itu saya tidak menatap ke arah kamera, Ayah-Ibu ku tertawa bahagia menatap kamera, mengapitku yang berumur entah 5 atau 6 tahun terduduk di tengah-tengah. Kakak perempuanku juga tertawa, duduk di sandaran sofa di samping Ibuku. Saya bahagia, Saya bahagia mengingat Saya pernah bahagia bersama keluarga kecilku. Sampai ingatan itu datang.



Waktu itu hujan, Saya ingat sekali karena saya baru pulang dari hujan-hujanan. Umur saya waktu itu 8, dan 2 hal favorit saya di dunia adalah Ibu dan Hujan. Bahkan Pokemon tidak bisa mengalahkan kekaguman saya terhadap Ibu dan Hujan, buktinya saat saya dan sepupu-sepupu menonton Pokemon berjamaah saya tidak pernah berat hati ketika Ibu berteriak dari dapur,

"Nak, belikan garam di warung Bu Tumijan!" saya langsung siap siaga, tanpa ada,

"Bentar Bu!" atau "Suruh kakak aja Bu ini Pikachu lagi nyetrum Raichu"

Bukan karena saya takut, melainkan karena saya suka. begitu pula dengan hujan, seingat saya, saya tidak pernah melewatkan satu hujanpun ketika saya kecil. Ayah-Ibu tidak pernah melarang saya untuk main hujan-hujanan, karena mereka berdua tahu itu favorit saya. Mereka tidak pernah marah anak laki-lakinya masuk rumah dengan basah kuyup membasahi ubin. Yang marah Bi Sum, karena harus mengepel lagi ubin yang baru saja dipel 15 menit yang lalu (saya kangen Bi Sum).

Saya masuk rumah dengan basah kuyup. Rumah waktu itu sepi, seingatku mati lampu dan di luar masih gerimis. Saya memanggil-manggil nama Bi Sum. Bi Sum keluar dari kamar Ibu, melarangku untuk masuk kamar Ibu karena kata Bi Sum, Ibu sedang sakit dan butuh istirahat. Saya langsung lari ke dapur, Bi Sum mengikuti dari belakang. Saya mengambil mug merah muda bertuliskan Mom, saya mengambil susu dari rak atas, saya harus menaiki kursi plastik, karena waktu itu tinggi saya belum cukup untuk menjangkau rak atas. Bi Sum khawatir sendiri melihat saya blingsatan dikira ayan habis hujan-hujanan, mungkin waktu itu dia senang karena akhirnya dia punya alasan buat Ayah-Ibu supaya melarang saya enggak hujan-hujanan lagi, Bi Sum menawarkan bantuan,

"Kalo mau susu biar Bibi aja yang bikinin, Aden mandi dulu aja. Nanti masuk angin lho"

"Bisa sendiri, Bi" sambil menuangkan susu bubuk dan gula pasir ke dalam mug

Seingatku, Waktu itu Bi Sum hanya membantu menuangkan air panas ke dalam mug.

"Bi Sum di sini aja, ya, jangan ngikutin aku." waktu itu Bi Sum sebenarnya tahu mau pergi kemana saya. Mungkin karena Bi Sum tahu usaha saya, jadi dia enggak tega buat ngelarangnya.

Saya masuk kamar Ibu, tanpa mengetuk. Karena saya kesusahan membawa mug berisi susu coklat panas yang ukurannya tidak bisa dibilang kecil untuk tangan anak berusia 8 tahun. Kamar itu bau hujan, karena jendelanya dibuka. Ibu tidur miring, menghadap jendela, memunggungiku. Awalnya saya hanya ingin meletakan mug itu di atas meja rias Ibu, karena saya kira Ibu sedang tidur. Tapi mendengar pintu kamarnya ditutup, Ibu terduduk, mebalikan badannya ke arahku, matanya sembab hampir bengkak. mendapati anak laki-lakinya basah kuyup menggenggam mug, Ibu tersenyum.

"Kamu kok belum handukan? Belum ganti baju?" saya hanya terdiam, saya sedih, ingin menangis, karena mata Ibu sembab.

"Ibu...sakit apa? Kalo minum susu coklat bakal sembuh ga?" 

Ibu menangis, menyuruhku menghampirinya. Dia minum susu buatanku sambil menangis, dia bilang susunya enak dan badannya langsung enakan. Setelah itu Ibu menaruh mug-nya di lantai. Disuruhnya aku duduk di atas kasur di sebelahnya. Aku tidak begitu ingat apa yang dikatakan Ibu, yang pasti dia bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja, apapun yang terjadi Ayah-Ibu akan tetap sayang, Beberapa kali menyinggung masalah perpisahan, dan beberapa kali ibu bilang kalo Ibu sayang saya. yang saya ingat waktu itu saya bertanya.

"Kalo Ibu ga sama Ayah, Ibu bahagia ga? kalo bahagia Adek juga bahagia kok, Bu" dan Ibu menangis lagi, memelukku. Pelukan ter-erat. Satu pelukan yang mengalahkan beribu kata bahwa Ibu sedang terluka. Satu pelukan untuk selamanya. Aku juga ikut menangis, hanya karena Ibu menangis.

14 tahun kemudian, membayangkan pelukan itu masih merupakan sumber kesedihan sekaligus kenyamanan. Rasa yang aneh. Masih memandangi foto keluarga kecil saya, lalu saya menoleh ke sebuah figura besar yang terpajang di tembok kamar. Memandanginya. saya tidak pernah menanyakan kenapa Ayah-Ibuku bercerai. Dan saya senang tidak pernah mempermasalahkannnya. Karena melihat sekarang ini mereka bahagia dengan kehidupannya masing-masing, membuat saya tersenyum. Senyuman tulus yang didapat dari kebahagiaan orang-orang tersayang. Lalu bagaimana dengan kebahagiaan saya? Saya tidak begitu peduli, selama mereka masih mau meminjamkan kebahagiannya pada saya, saya akan baik-baik saja.

Saya memang pernah bahagia bersama-sama keluarga kecil saya. Tapi sekarang, saya masih bahagia bersama dengan keluarga yang tidak begitu kecil lagi :)


MR. NOBODY

2 komentar:

  1. Suka banget :) simple tapi hangat. Sedih tapi tidak berlebih. Menguatkan kalau anak "brokenhome" ga selamanya "neko-neko" kaya di sinetron

    BalasHapus